Awalnya, sertifikat tersebut diketahui hanya dijaminkan kepada seseorang bernama Syamsir bin Ahmad pada tahun 1993, dengan nilai pinjaman sebesar Rp 7 juta. Namun, belakangan muncul pihak tak bertanggung jawab yang mengaku sebagai ahli waris palsu, dan secara sepihak menjual lahan itu kepada PT AGS dengan nilai fantastis: Rp 2,13 miliar!
Lebih mengejutkan, ahli waris yang sah baru muncul kemudian. Mereka mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa hanya menerima Rp 20 juta lebih sebagai "bagi hasil". Terjadi musyawarah lisan dengan pihak pembeli untuk pembagian 50:50, namun tak satu pun diikat secara hukum!
Ketua Umum Komunitas Pemerhati Pantura (KPP), yang juga Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Pendekar Babad Banten Indonesia (PPBBI), Joko Winarno, SH, geram dengan situasi ini. Ia menyebut kasus ini sebagai bagian dari modus lama mafia tanah yang kini menyusup ke proyek-proyek besar.
“Ini bukan hanya soal jual beli lahan, ini pembajakan hak masyarakat! Ada indikasi kuat pemalsuan identitas dan manipulasi transaksi. PT AGS harus bertanggung jawab, dan pihak berwajib wajib segera bertindak. Mafia tanah harus dilawan dengan hukum!” tegas Joko Winarno, SH saat diwawancarai, Selasa (15/07/2025).
Joko menegaskan, pihaknya sedang menyusun laporan resmi ke pihak kepolisian dan lembaga anti-korupsi. Ia juga menyerukan agar aparat penegak hukum di Kabupaten Tangerang, baik dari kepolisian maupun kejaksaan, tidak tutup mata.
Kasus ini menjadi alarm keras bahwa penggusuran dan pembebasan lahan di balik proyek besar seperti PIK 2 tak selalu bersih, dan bisa menyisakan luka mendalam bagi rakyat kecil jika mafia tanah terus dibiarkan merajalela. (Red)