UCAPAN RAMADHAN

SELAMAT IDUL FITRI REVOLUSI

'Advertisement'
ADVERTISEMENT

no-style

BREAKING NEWS

Loading...

PIM Soroti Kemunduran Demokrasi di Era Kepemimpinan Sachrudin-Maryono

Redaksi_Revolusi
6/09/25, 08:53 WIB Last Updated 2025-06-09T01:53:01Z


Revolusinews.id
TANGERANG — Poros Intelektual Muda (PIM) menyoroti adanya kemunduran serius dalam praktik demokrasi di Kota Tangerang di bawah kepemimpinan Walikota dan Wakil Walikota, Sachrudin-Maryono. Sorotan ini muncul menyusul pernyataan kontroversial dari Asisten Daerah (Asda) I, Deni Koswara, yang dinilai meremehkan aksi masyarakat.


Pernyataan Deni yang menyebutkan, “masa kita harus datang ke bawah segala macam,” dalam merespons aksi massa, dianggap mencerminkan pemahaman keliru terhadap esensi demokrasi.


Juru Bicara Nasional (Jubirnas) PIM, Topan Bagaskara, menilai pernyataan tersebut telah menyimpang dari substansi demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. “Dalam konsep government by the people, pemerintahan seharusnya berjalan atas nama dan untuk rakyat, bukan demi kepentingan elite kekuasaan,” tegas Topan, Minggu (8/6/2025).


Menurutnya, pejabat publik wajib tunduk pada pengawasan rakyat sebagai bentuk kontrol sosial untuk mencegah praktik otoriterisme. “Dengan adanya pengawasan dari rakyat, otoriterisme bisa dicegah. Karena itu, pejabat publik harus membuka ruang dialog, bukan menghindar dari kritik,” tambahnya.


Topan juga menyatakan, belum tentu pernyataan Deni Koswara mencerminkan pandangan resmi Sachrudin-Maryono. “Bisa jadi itu hanya sikap pribadi Asda I dengan dalih menjaga kondusifitas,” ujarnya.


Ia mengingatkan, jika pola menutup diri terhadap kritik ini terus dilanjutkan, maka hal tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi iklim demokrasi di Kota Tangerang. “Tidak ada yang salah jika pejabat menemui massa aksi dan berdialog secara terbuka terkait isu publik. Apalagi mereka dulu juga turun ke masyarakat saat kampanye,” katanya.


Topan merujuk pada Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi. Karena itu, menyuarakan kritik terhadap pemerintah bukanlah tindakan kriminal, melainkan bagian dari demokrasi yang sehat.


Lebih lanjut, Topan mengkritisi sikap Pemerintah Kota Tangerang yang menyebut aksi sebagai ajang "membuka aib". “Ini membuktikan ketidakmampuan pejabat dalam membedakan antara kritik terhadap kinerja publik dan serangan pribadi,” tegasnya.


Topan menilai pentingnya restorasi pemahaman di kalangan pejabat publik mengenai perbedaan antara kritik dan penghinaan. “Pejabat publik harus menyadari bahwa mereka memang harus siap menerima kritik. Kalau tidak, berarti mereka belum layak menduduki jabatan publik,” tegas aktivis HAM dan demokrasi itu.


Ia juga meminta klarifikasi atas pernyataan Deni yang menyebut bahwa pasangan Sachrudin-Maryono memperoleh suara sebesar 80 persen. “Pernyataan semacam ini bisa menjadi sumber kesalahpahaman di masyarakat dan harus segera diluruskan,” ujarnya.


Di akhir pernyataannya, Topan mengkritik gaya komunikasi Pemerintah Kota Tangerang yang dinilai semakin mengarah ke tekno-populisme—yakni membungkus kekuasaan dengan narasi media yang cantik namun minim substansi. “Setiap kebijakan dibuat seolah sempurna lewat pemberitaan, padahal tidak ada kebijakan yang bebas dari evaluasi. Ini justru menjadi penghalang bagi kritik yang konstruktif,” pungkasnya. (Red)

Komentar

Tampilkan

Terkini

Parlementaria

+