CEO

'Advertisement'
ADVERTISEMENT

UCAPAN RAMADHAN

BREAKING NEWS

Loading...

no-style

Pengrajin Sarung Golok Butuh Perhatian Pemerintah Daerah

adminrevolusinews.id
6/25/22, 14:00 WIB Last Updated 2022-06-26T21:21:01Z


revolusinews.id Karawang - Di sudut Kampung Jati Rarangan (kini Jati Mulya), wilayah Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat, di areal pesawahan yang ditumbuhi patok PT, seorang tua pengrajin "sarangka bedog" (sarung golok) bercitarasa "baheula", kuno.


Ki Kojang, yang berkarya sudah 30-an tahun, sebagai generasi ke 3, setelah Bah Sao (ayah) dan Bah Manin (kakek / pamannya ayah) memulai berkarya sebagai pengrajin tahun 1990. Tidak berlebihan kiranya, karya Ki Kojang amat sederhana namun menyimpan pesona bahwa "sarangka" dan "pèrah", gagang golok tidak menampakkan ukiran bahkan jauh dari terkesan mewah namun mencirikan kesederhanaan, bersahaja, lugu, apa adanya tetapi sebatas aksen di beberapa titik, corak yang minimalis. Dan ia menyebutnya sebagai pelengkap "bedog gablog" bukan bedog, golok kelas koleksi apalagi pusaka.


Kendati begitu, 'golok' yang berdatangan sebagai order, "kongkon" dari beberapa daerah, semisal  Bekasi, Jonggol, Bogor, Tasik Malaya, Garut, Brebes, Jogjakarta, dll selain Karawang sendiri. Namun sayang, pekerjaan yang menumpuk itu hanya dikerjaan sendirian, tak berharap generasi muda (anak-cucu) melanjutkannya, si Abah sadar bahwa generasi sekarang sudah berubah pola, mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau proyek di kawasan industri, konsekuensi logis dari Karawang yang kian industrial. Ada semacam kesenjangan generasi, seolah mereka yang tua hanya pantas mengerjakan hal-hal kuno.


"Euweuh nu beuki," tidak ada yang 'doyan', langka peminat untuk meneruskan keahlian tersebut, ujar Ki Kojang.


"Keunikan yang lain, lanjut Ki Kojang, dia memilih kayu bukan kayu yang barusan ditebang melainkan kayu hanyutan kali Cibeet, tepat di belakang kediamannya. Semisal kayu laban, johar, loa dan lain-lain. Hanya saja dia menghindari kayu jati dan nangka, itu pesan turun temurun sebagai "pamali", alasan logisnya akan berakibat golok lekas tumpul. Adapun bahan baru untuk gagang, pèrah, yakni "jangkar", "tunggul ampèl", pokok, akar bambu ampel, yang ia order dari seorang tetangga," ungkap Ki Kojang pada revolusinews.id , Sabtu (25/06/22)


Di sela pekerjaan rutinnya sebagai pengrajin, dia masih sempat beraktivitas tani, dengan berkebun palawija, sebab pekerjaan pengrajin tidak sepenuhnya bisa menopang kebutuhan kesehariannya, tutur  Ki Kojang.


Ongkos order per setel (sarung dan gagang golok) kisaran Rp. 50 ribu - 55 ribu, sementara bahan (akar bambu ampel, almunium, listrik untuk bor, minyak urang aring sebagai parnish) tidak sepadan jika diukur dengan kemampuan sebuah keahlian, hususnya harga almunium (sebagai aksen sekaligus pengikat sarangka, sarung golok, harganya kian meningkat, tandasnya.


Ini keahlian khusus, semacam seorang Mpu (di jaman kerajaan) dikelola oleh keraton. Lain halnya dengan Ki Kojang, ia sebatas meneruskan 'tradisi' leluhurnya, sebab sebaik-baiknya seseorang, ia yang rela memberikan kehidupannya untuk berkarya, begitu pesan "karuhun"-nya yang ia pegang sampai hari ini.


Ini hanya perlu perhatian dari pihak tertentu sebagai inpentaris kekayaan budaya lokal, kearifan lokal yang mulai terkikis jaman, tinggal kita, berupaya menjaga dan melestarikannya sebagai kekayaan budaya atau berdiam diri turut menguburnya perlahan. (JunBiull)

Komentar

Tampilkan

Terkini

Parlementaria

+