UCAPAN RAMADHAN

CEO

'Advertisement'
ADVERTISEMENT

BREAKING NEWS

Loading...

no-style

Tungku Suci yang Merindu Api"

Redaksi_Revolusi
5/19/25, 17:08 WIB Last Updated 2025-05-19T10:08:36Z


*Puisi "Tungku Suci yang Merindu Api"* *_karya Ferdinand Nauw Tahoba__* adalah sebuah seruan emosional yang mendalam, meratapi kehilangan harmoni dan kebersamaan di Tanah Papua, sekaligus memanggil kembali api kasih, persatuan, dan identitas budaya yang mulai memudar. Berikut adalah analisis singkat puisi ini:


*Tema Utama*

Puisi ini bertemakan kerinduan akan persatuan, harmoni, dan kebangkitan budaya di tengah perpecahan, lupa, dan kerusakan lingkungan serta sosial. Tungku suci menjadi metafora untuk hati kolektif masyarakat Papua yang dulu hangat oleh kasih, tetapi kini dingin akibat pengabaian terhadap tiga pilar kebenaran: Pencipta, Alam, dan Manusia.


*Struktur dan Gaya Bahasa*

*Struktur:* Puisi ini terdiri dari beberapa bait yang mengalir bebas tanpa pola metrik yang kaku, mencerminkan aliran emosi yang mendalam dan penuh ratapan. Bagian penutup dengan lokasi dan waktu ("Kebun Pala, Mei 2025") menambah kesan personal dan kontekstual.

*Gaya Bahasa:* Metafora dan Simbolisme: Tungku suci melambangkan pusat kehidupan dan kebersamaan masyarakat Papua. Tiga batu (Pencipta, Alam, Manusia) adalah fondasi nilai-nilai yang kini terancam.

*Personifikasi:* Alam digambarkan "menangis" karena dirampas, memperkuat hubungan emosional antara manusia dan lingkungan.

*Bahasa Lokal:* Penggunaan istilah seperti __"Mbaham Matta,"_ _"Lepago,"_ _"Meepago,"_ hingga _"Idu-idu Maninina"__ menunjukkan kekayaan budaya Papua dan memperkuat identitas lokal.

*Nada:* Nada puisi bergerak antara ratapan, seruan, dan harapan, menciptakan dinamika emosional yang kuat.


*Makna dan Pesan*

Puisi ini menggambarkan krisis identitas dan disintegrasi sosial di Papua khususnya di Fakfak akibat lupa akan nilai-nilai leluhur, eksploitasi alam, dan perpecahan antar-marga. 


*Penulis menyerukan:*

*Persatuan:* Mengajak 144 marga dan berbagai suku di Papua, bahkan bangsa lain (Tionghoa, Arab, Nusantara), untuk bersatu kembali.

*Kebangkitan Budaya:* Menyulut kembali "api" dalam tungku suci, yaitu semangat kasih, doa, dan kebersamaan.

*Kritik Sosial:* Mengkritik kerusakan lingkungan ("hutan yang dirampas, laut yang dikeruk") dan pengabaian nilai-nilai spiritual serta kemanusiaan.


*Konteks Budaya dan Sosial*

Puisi ini mencerminkan realitas sosial di Papua, di mana modernisasi, eksploitasi sumber daya alam, dan konflik sosial sering kali menggerus nilai-nilai budaya dan kebersamaan. Penyebutan *_"Gunung Baham"_* dan "Kebun Pala" menunjukkan keterkaitan dengan wilayah Fakfak, Papua Barat, yang kaya akan warisan budaya dan sejarah. Waktu penulisan (Mei 2025) menempatkan puisi ini dalam konteks masa depan yang penuh harapan namun juga kecemasan akan kelangsungan budaya.


*Kesimpulan*

"Tungku Suci yang Merindu Api" adalah puisi yang kuat dan penuh makna, menggabungkan kepekaan budaya, kritik sosial, dan seruan untuk persatuan. Ferdinand Nauw Tahoba berhasil menyuarakan jiwa Tanah Papua yang merindu kehangatan dan harmoni, sekaligus mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga akar budaya dan lingkungan.

Komentar

Tampilkan

Terkini