RevolusiNews. – Skandal korupsi DPRD Kepahiang kembali mencuat, kali ini dengan bukti yang tak terbantahkan: dokumen perjalanan dinas fiktif yang dipakai untuk menguras uang rakyat. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kepahiang telah menetapkan lima mantan anggota DPRD periode 2019–2024 sebagai tersangka. Mereka adalah R. M. Johandra, Joko Triono, Maryatun, Budi Hartono, dan Nanto Husni.
Kelima tersangka terbukti memainkan modus lama namun ampuh: memalsukan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) serta melampirkan bukti hotel, transportasi, hingga daftar hadir rapat yang tak pernah terjadi. Dengan cara licik ini, mereka berhasil mengalirkan miliaran rupiah ke kantong pribadi.
Tak tanggung-tanggung, kerugian negara yang ditimbulkan diperkirakan mencapai Rp12 miliar. Namun ironisnya, baru sekitar Rp2 miliar yang dikembalikan, itu pun dengan cara mencicil – seolah korupsi hanya utang yang bisa diangsur!
Fakta ini sekaligus membuka borok lain: mandulnya Inspektorat Kabupaten Kepahiang. Sebagai lembaga pengawas internal, Inspektorat seharusnya menjadi garda terdepan mencegah penyimpangan anggaran. Tetapi kenyataannya, praktik pemalsuan dokumen yang begitu vulgar ini lolos bertahun-tahun tanpa terendus.
Pertanyaannya, apakah Inspektorat benar-benar tidak tahu, atau justru menutup mata? Jika dugaan manipulasi bisa berjalan mulus hingga miliaran rupiah raib, publik pantas bertanya: Inspektorat bekerja untuk rakyat, atau untuk melindungi maling berdasi?
Kejari Kepahiang tak main-main. Kelima tersangka langsung ditahan selama 20 hari ke depan di Lapas Kelas II A Curup. Penahanan ini menandai babak baru, sekaligus tamparan keras bagi wajah legislatif daerah yang selama ini dielu-elukan sebagai “wakil rakyat”.
Tak hanya lima mantan anggota dewan, dua eks pimpinan DPRD periode 2019–2024 juga ikut ditetapkan sebagai tersangka tambahan. Dengan ini, total ada delapan tersangka yang terseret dalam kasus korupsi berjamaah DPRD Kepahiang.
Kasus ini bukan sekadar soal beberapa oknum. Ini adalah skema korupsi sistematis yang mengandalkan dokumen palsu untuk menggerogoti anggaran. Dan lebih parah lagi, Inspektorat sebagai pengawas internal justru terbukti ompong dan tak bergigi.
Rakyat menuntut jawaban: Apakah Kejaksaan berani menelusuri peran Inspektorat yang membiarkan kejahatan ini terjadi? Ataukah skandal ini akan berhenti pada tumbal politik semata?*Red