Revolusinews.id Fakfak - Di bawah naungan Gunung Baham, di mana ombak laut Fakfak menari dengan rahasia leluhur dan hutan berbisik tentang keabadian, masyarakat adat Mbaham Matta telah lama menjaga falsafah “Satu Tungku Tiga Batu” —keseimbangan suci antara Kebenaran Pencipta, Alam Semesta, dan Eksistensi Umat Manusia. Dalam ritme kehidupan yang dijiwai prinsip “Ko, On, Kno, Mi Mo, Mbi Du Qpona” (Kau, Saya, dan Dia Bersaudara), Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak berdiri sebagai penjaga tungku kebersamaan, merangkul 144 marga pusaka, suku-suku asli Papua, etnis Nusantara, serta komunitas Tionghoa dan Arab yang telah berabad-abad hidup berdampingan dalam damai. Dalam menghadapi tantangan modern—dari ancaman eksploitasi 300.000 hektar hutan adat hingga perubahan sosial yang menggerus identitas budaya—Dewan Adat memainkan peran krusial sebagai penjaga harmoni, pelindung hak masyarakat adat, dan penggerak pemulihan Tanah Papua.
Penjaga Harmoni Sosial dan Spiritual
Dewan Adat Mbaham Matta adalah nadi kehidupan masyarakat adat, yang memastikan falsafah “Satu Tungku Tiga Batu” tetap hidup dalam setiap langkah kebersamaan. Melalui ritual seperti Kopi Kehnggara, Dewan Adat memperdalam hubungan spiritual dengan Sang Pencipta, menjaga nilai-nilai sakral yang menjadi kompas moral komunitas. Dalam semangat “Idu-idu Maninina” (segala masalah diselesaikan secara damai), Dewan Adat memfasilitasi musyawarah adat untuk merajut harmoni sosial, seperti yang terlihat dalam penyelesaian konflik pasca-kericuhan 2019 di Fakfak.
Keunikan Dewan Adat terletak pada pendekatan inklusifnya. Dengan melibatkan Golongan Pusaka (144 marga), Golongan Istimewa (suku-suku asli Papua dari tujuh wilayah adat), dan Golongan Kehormatan (etnis Nusantara, Tionghoa, dan Arab), Dewan Adat menenun tali kasih lintas budaya. Konferensi III Dewan Adat Mbaham Matta pada 5–11 November 2025, misalnya, menjadi panggilan jiwa untuk menyatukan 1.000 peserta dalam doa, tarian, dan musyawarah, mencerminkan semangat persaudaraan “Ko, On, Kno, Mi Mo, Mbi Du Qpona.” Penampilan 1.000 penari Mbaham Matta untuk rekor MURI bukan sekadar perayaan budaya, melainkan doa kolektif untuk harmoni Papua.
Pelindung Hak dan Aset Adat
Di tengah ancaman eksploitasi sumber daya alam, Dewan Adat Mbaham Matta berperan sebagai benteng pelindung hak dan aset adat. Lebih dari 300.000 hektar hutan adat di Fakfak terancam dibabat untuk investasi dalam lima tahun ke depan, mengancam kebun pala—warisan leluhur yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat. Melalui sembilan komisi strategis, seperti Komisi Perlindungan Sumber Daya Alam dan Komisi Advokasi Hak Masyarakat Adat, Dewan Adat merumuskan kebijakan berbasis prinsip FPIC (Free, Prior, Informed Consent) dan perhutanan sosial untuk melindungi tanah adat, hutan, dan laut.
Konferensi Maghi (7 Mei 2025), Kerapatan 144 Marga (Mei–Juli 2025), dan Musyawarah 22 Wilayah Adat (Agustus–Oktober 2025) menjadi langkah awal untuk konsolidasi internal, memastikan suara setiap marga dan wilayah adat didengar. Deklarasi “Pemulihan Negeri Papua” yang akan dihasilkan pada Konferensi III diharapkan menjadi komitmen bersama untuk mengadvokasi pengakuan hak adat di tingkat lokal, nasional, dan internasional, sekaligus memperkuat otonomi adat dalam pengelolaan sumber daya.
Domianus Tuturop, Ketua Umum Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak, menyampaikan bahwa panggilan ini adalah “seruan dari rahim tanah leluhur” sebuah ajakan untuk menyalakan kembali tungku kebersamaan yang hampir padam.
“Kami menangis, bukan karena lemah, tapi karena cinta pada negeri ini begitu dalam,” ungkapnya penuh haru.
Penggerak Pemulihan Budaya dan Generasi Muda
Dewan Adat Mbaham Matta tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga merevitalisasinya untuk generasi mendatang. Tradisi seperti sasi adat (kera-kera), tarian Mbreh, dan Nongnong kian terpinggirkan di tengah globalisasi. Melalui Komisi Pelestarian Warisan Budaya dan Komisi Pendidikan dan Pengetahuan Lokal, Dewan Adat mengembangkan strategi dokumentasi tradisi, pelatihan seni adat, dan kurikulum pendidikan berbasis kearifan lokal. Inisiatif ini memberdayakan generasi muda dan perempuan adat, yang kini terlibat aktif dalam pelestarian budaya dan ekonomi pala.
Konferensi III juga menjadi momen untuk menjahit luka masa lalu dan merangkai harapan masa depan. Dengan melibatkan organisasi kepemudaan, perempuan adat, dan akademisi, Dewan Adat memastikan bahwa nilai-nilai “Satu Tungku Tiga Batu” diwariskan kepada generasi baru, menjaga identitas Mbaham Matta tetap hidup di tengah dinamika sosial.
Pemimpin Sinergitas untuk Papua Harmonis
Sebagai jembatan antara adat, pemerintah, dan masyarakat, Dewan Adat Mbaham Matta memainkan peran strategis dalam membangun sinergitas. Kehadiran perwakilan Gubernur Papua Barat, Bupati Fakfak, dan DPRD Fakfak dalam Konferensi III menunjukkan komitmen untuk menyelaraskan pembangunan dengan nilai-nilai adat. Dukungan dari LSM, akademisi, dan komunitas Tionghoa serta Arab memperkuat jaringan Paguyuban Nusantara, menciptakan model kolaborasi yang inklusif untuk pembangunan berkelanjutan.
Pemilihan dan pelantikan kepemimpinan baru Dewan Adat pada 11 November 2025 di Kantor Dewan Adat Mbaham Matta akan menjadi titik balik untuk masa depan. Kepemimpinan periode 2025–2030 diharapkan membawa visi visioner, memperkuat tata kelola adat, dan memastikan Fakfak tetap menjadi oase harmoni di Tanah Papua.
Menyalakan Tungku Masa Depan
Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak adalah lebih dari sekadar institusi adat; ia adalah nyanyian leluhur yang bergema di setiap detak jantung masyarakatnya. Dalam menghadapi tantangan modern, Dewan Adat menjalankan peran sebagai penjaga harmoni sosial dan spiritual, pelindung hak dan aset adat, penggerak pemulihan budaya, dan pemimpin sinergitas untuk Papua yang harmonis. Konferensi III adalah seruan jiwa untuk menyalakan kembali tungku suci kebersamaan, mengajak kita semua—dari dusun pala hingga pesisir laut—untuk menangis bersama dalam ritual, tertawa dalam parade budaya, dan berjuang untuk negeri yang utuh. Seperti kata falsafah Mbaham Matta, “Ko, On, Kno, Mi Mo, Mbi Du Qpona”—kita bersaudara, dan bersama kita pulihkan Papua.
*) Penulis adalah Panitia Pengarah (Sterring Committee) Konferensi III Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak
Oleh: Ferdinand Nauw Tahoba *)