Untuk mempertahankan hidup, para nelayan dan petani ini terpaksa harus memutar otak mencari sumber penghasilan alternatif. Salah satunya, dengan beralih profesi menjadi perajin batu bata.
Profesi musiman yang biasa dijalani para nelayan dan petani saat cuaca buruk dan saat musim kemarau ini, dilakukan sejumlah petani dan nelayan Muara Ciasem dan petani Desa Tanjung Tiga, Kecamatan Blanakan, Subang.
"Kami biasa banting setir jadi pembuat batu bata setiap datang kemarau, dan cuaca buruk" ujar Dasa Nelayan asal Desa Tanjungtiga
Meski pendapatan dari hasil membuat batu bata tidak seberapa, keduanya tetap menjalaninya, karena tidak ada alternatif lain yang menjanjikan secara ekonomis.
"Karena cuaca buruk penghasilan melaut tidak sebanding dengan biaya operasional dan bahkan lahan pertanian di sekitar bantaran sungai ciasem sini sulit sumber air, kami jadi gak punya pekerjaan atau keahlian lain, kecuali bikin batu bata,"jelas Dasa.
Bikin batu bata kepaksa dilakoni buat bertahan hidup, apalagi ekonomi sedang sulit, harga-harga mahal," tutur Dasa
Setiap harinya, pasangan suami-istri ini mampu mencetak (memproduksi) minimal 400 hingga 500 buah batu bata, ujarnya.
Untuk bisa di jual membutuhkan sejumlah proses. Mulai dari proses pengolahan bahan, pencetakan, pengeringan, dan pembakaran. Proses paling lama biasanya di tahap pengeringan dan pembakaran, ungkap Dasa.
"Pengeringan sedikitnya butuh waktu 4'sampai 5 hari. Yang paling lama itu pembakaran, butuh waktu seminggu sampai batu batanya keras," ucap Dasa
Hasil jerih payah mereka memproduksi batu bata nilai penghasilan yang mereka raup dari hasil penjualan itu, tidak seberapa. Pasalnya, saat ini, harga batu bata hanya Rp300 per buah.yang mentah dan 500 rupiah perbata kalau yang sudah matang, tuturnya.
"Dalam sebulan, yang pesen bata paling satu atau dua orang, itu juga pesannya gak banyak, paling 1.000 biji. Dengan harga Rp500 per biji, penghasilan kami gak seberapa hanya bisa menyambung hidup "ungkap Dasa (ahd)